Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif
PERTANYAAN
Sebagian orang menyangka bahwa mengikuti manhaj Salaf bukanlah suatu kewajiban, bahkan ada yang berkata itu adalah taqlid ‘membebek buta’. Tolong uraikan pendapat yang benar dalam masalah ini dengan dalil-dalilnya!
JAWABAN
Mengikuti jalan para ulama salaf adalah
kewajiban atas setiap muslim dan muslimah dalam segala perkara agama.
Dalil akan wajibnya berasal dari Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma’ para
ulama dari zaman ke zaman.
Dalil dari Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [ At-Taubah: 100 ]
Ayat ini sangat tegas menunjukkan
wajibnya mengikuti jalan para Salaf, dan bahwa orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik akan mendapat keridhaan dan pahala surga.
Maka, ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengikuti mereka akan
mendapat siksaan dan tidak akan mendapat keridhaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala jugamenjadikan keimanan para shahabat sebagai simbol kebenaran dan petunjuk. Dalam firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,
“Maka jika mereka beriman seperti
apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari
mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [ Al-Baqarah: 137 ]
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsir beliau yang terkenal, “‘Maka jika mereka beriman’, yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka, ‘seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya’, wahai kaum mukminin, dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorang pun dari mereka, ‘sungguh mereka telah mendapat petunjuk’, yakni mereka telah berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.”
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” [ An-Nisa`: 115 ]
Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauzy, “Sisi
pendalilan dari ayat ini, bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan
kaum Mukminin sebagai sebab seseorang larut di jalan kesesatan dan masuk
ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat ini) juga menunjukkan bahwa
mengikuti jalan Ar-Rasulshallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam
merupakan bagian dari pokok Islam yang agung yang berkonsekuensi
keharusan dan kewajiban menempuh jalan kaum mukminin. Adapun jalan kaum
mukminin adalah perkataan dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini ditunjukkan oleh firman-Nya Ta’ala,
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [ Al-Baqarah: 285 ]
Dan kaum mukminin pada waktu itu adalah para shahabat.” Demikian perkataan Ibnul Qayyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal. 54.
Dalil dari As-Sunnah
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhary (2652), Muslim (2533/211), dan lain-lainnya. Hadits ini mutawatir)
Hadits ini sangat tegas menunjukkan keutamaan tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu generasi As-Salaf Ash-Shalih, bahwa As-Salaf Ash-Shalih adalah sebaik-baik generasi yang pernah lahir dari umat ini. Al-Khairiyah
‘kebaikan’ yang terdapat pada mereka ada pada semua sisi kebaikan dalam
agama. Maka merekalah yang terbaik jalannya, paling dalam ilmunya,
paling lurus pemahamannya, paling sedikit salahnya dan yang paling mulia
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga menunjukkan kewajiban mengikuti jalan para ulama Salaf rahimahumullah.
Juga dalam hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
النُّجُوْمُ
أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا
تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ
مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ
أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ
“Bintang-bintang adalah pelindung
bagi langit. Bila bintang telah lenyap, akan datang kepada langit apa
yang dijanjikan atasnya. Saya adalah pelindung bagi shahabatku. Jika
saya telah pergi, akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan
atasnya. Para shahabatku adalah pelindung bagi umatku. Bila para
shahabatku telah pergi, akan datang kepada umatku apa yang dijanjikan
atasnya.” (dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 2531)
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menjadikan para shahabat terhadap umat setelahnya ibarat bintang
terhadap langit. Hal ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar bagi
para shahabat, sehingga wajib atas umat setelahnya untuk mengikuti
mereka dalam memahami agama ini. Karena mereka adalah orang-orang yang
adil dan tidak berbicara kecuali hal tersebut benar dan mereka adalah
murid langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menimba ilmu darinya.
Para shahabat diibaratkan sebagai bintang-bintang, dan sebagaimana yang diketahui bahwa bintang mempunyai 3 fungsi:
- Sebagai petunjuk jalan di malam hari.
- Sebagai pelempar syaithan.
- Sebagai penghias langit.
Demikianlah kedudukan dan keutamaan para shahabat.
Juga dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَعَظَنَا
مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا
القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ الله كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى
الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ
تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam menasihati kami dengan suatu nasihat yang sangat mendalam,
sehingga membuat air mata kami mengalir dan hati-hati kami bergetar.
Maka berkatalah seseorang, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan, maka apakah
yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Saya
mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan agar kalian
mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun (yang memimpin kalian
adalah) seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethiopia -pen.). Karena
sesungguhnya siapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka akan
melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang
teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` yang mendapat
hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan
gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru
dalam agama, karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama
adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.’.” (hadits shahih dari seluruh jalan-jalannya, dishahihkan oleh Syaikh Al- Albany dalam Zhilalul Jannah )
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi perselisihan mengembalikan perselisihan tersebut kepada sunnahnya dan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin yang senantiasa berada di atas sunnah dan petunjuk. Maka digandengkannya sunnah beliau dengan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin menunjukkan kebenaran dan kelurusan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin dalam memahami sunnah beliau yang mengharuskan kita mengikuti jalan mereka.
Juga dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ الله فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ
أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ
وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخَلَّفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَالاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالاَ
يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ
جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ
“Tidak ada seorang Nabi pun
yang diutus oleh Allah kepada umat-umat sebelum saya kecuali dia
mempunyai penolong dan shahabat yang mengamalkan sunnahnya dan mematuhi
perintahnya. Kemudian setelah itu akan ada sekelompok orang yang
menyeleweng, mereka mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan dan
mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka
barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka dia
adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka
dengan lisannya, maka dia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang
berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka dia adalah seorang mukmin.
Dan tidak ada lagi keimanan setelah itu.” (dikeluarkan oleh Muslim no. 50)
Dari sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menyifatkan shahabatnya bahwa shahabatnya adalah orang-orang yang
senantiasa mengikuti perintahnya dan mengambil sunnahnya. Barangsiapa
yang keadaannya demikian, maka inilah yang wajib untuk diikuti, karena
jalannya adalah jalan untuk mengantarkan ke jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Kemudian dalam hadits perpecahan umat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
افْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ
سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ
إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah. Semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah .” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain -rahimahumallahu-)
Lalu dalam satu riwayat yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, ketika ditanya siapa golongan yang selamat ini, Nabi menjawab,
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“Apa yang saya berada di atasnya pada hari ini dan para shahabatku.”
Dalil dari Ijma’
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’ ….” Baca Dzammut Ta`wil hal. 28-36 beserta pembahasan kewajiban mengikuti Salaf.
Berkata Ibnul Qayyim, “Sesungguhnya
senantiasa para ulama di setiap zaman sepakat dalam berhujjah, mereka
mengambil perkataan dan perbuatan para shahabat dan tak satupun
mengingkari hal ini. Karangan-karangan dan muhadharah-muhadharah
‘majelis ilmu’ mereka menjadi bukti dari hal itu. Dan berkata sebagian
ulama Al-Malikiyah, ‘ Para ulama di setiap zaman sepakat mengambil
apa-apa yang datang dari shahabat di dalam berhujjah, hal ini terkenal
dalam riwayat-riwayat para ulama, kitab-kitab dan muhadharah serta pengambilan dalil-dalil mereka yang selalu berpatokan dari perkataan dan perbuatan para shahabat.’.” Baca Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal. 77-78.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah,
“Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh di atas apa yang para
shahabat berada di atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/176. Perkataan ini juga diucapkan oleh ‘Ali Ibnul Madiny sebagaimana dalam Dzammut Ta`wil .
Untuk pembahasan yang lebih meluas tentang dalil kewajiban mengikuti jalan para ulama salaf, silakan baca I’lam Al-Muwaqqi’in jilid 4, Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf , Limadza ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy , dan lain-lainnya.
Syubhat dan Jawabannya
Sebagian orang mengatakan bahwa mengikuti jalan para ulama salaf adalah taqlid, dan taqlid itu terlarang dalam agama.
Maka untuk menjawab syubhat ini kami nukilkan keterangan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam kaset yang berjudul Al-Qawa’id Fi Al-Minhaj , “Taqlid bukanlah tercela secara mutlak. Taqlid dalam kebenaran dan mengikuti pengikut kebenaran ini adalah perkara yang diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman tentang nabi-Nya, Yusuf ‘alahis salam,
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qûb.” [ Yusuf: 38 ]
Yusuf ‘alahis salam mengabarkan bahwa ia mengikuti orang yang sebelumnya tatkala mereka berada di atas kebenaran. Allah ‘Azza wa Jalla hanyalah mencela mengikuti ayah-ayah dan nenek moyang karena mereka berada di atas selain ilmu
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab,
‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan tetap mengikuti),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?” [ Al-Baqarah: 170 ]
Mereka dicela karena mereka tidak
mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapatkan petunjuk. Maka pemahaman
ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mendahului kita, kalau mereka
mengetahui dan memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah, mereka diikuti dalam hal itu.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka,
‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’
Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak
kami mengerjakannya.’ (Apakah mereka akan tetap mengikuti nenek moyang
mereka) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk?” [ Al-Maidah: 104 ]
Maka ini menunjukkan bahwa orang yang
mengetahui itu diikuti. Yang tercela hanyalah siapa yang mengikuti orang
yang tidak mengetahui. Maka taqlid bukanlah tercela secara
mutlak dan bukan pula boleh secara mutlak, tetapi ada rinciannya, yaitu
siapa yang berada di atas kebenaran maka ia diikuti dan di-taqlid dengan dalil yang datang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah
dari perintah mengikuti para ulama Salaf dan mencontoh mereka, (dan)
siapa yang meyelisihi kebenaran maka tidak boleh diikuti dan di-taqlid. (Penjelasan) ini merupakan pemutus perselisihan dalam masalah ini.
Maka kami berkata, “Tidak mungkin kita memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah
kecuali dengan mengikuti manhaj Salaf. Tidaklah mungkin seseorang
datang di akhir dunia, di akhir zaman, lalu membuang manhaj Salaf dan
menyangka ia telah mengambil (menerima ilmu) Al-Kitab dan As-Sunnah
secara langsung. Ini adalah kesesatan dan perbuatan memecah belah umat
serta memutuskan hubungan (generasi) belakangan dari (generasi) Salafnya
….”