Sabtu, 06 Oktober 2012

Posisi Duduk Masbuk: Tawarruk atau Iftirasy?




Pertanyaan
Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar shalat yang selama ini menjadi pertanyaan di benak saya, yaitu:
Ketika imam duduk tahiyat akhir sebelum salam, apakah posisi duduk seorang masbuk seperti posisi duduk tahiyat awal ataukah tetap mengikuti posisi duduk imam?
 Jawaban
Shalat, ditinjau dari jumlah rakaatnya, terbagi dua:
Pertama: shalat dua rakaat, seperti shalat Shubuh, rawatib, dan lain-lain. Cara duduk shalat seperti ini adalah duduk iftirasy, yakni seperti duduk tasyahud awal dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, atau seperti duduk antara dua sujud: kaki kanan ditegakkan dan pantat duduk di atas kaki kiri. Ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut:
  1. Hadits Abdullah bin Zubair bahwa beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اليُسْرَى وَنَصَبَ اليُمْنَى وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى الْوُسْطَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَلْقَمَ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila duduk dalam dua rakaat, menghamparkan (kaki) kirinya dan menegakkan (kaki) kanannya, meletakkan ibu jari (tangan kanan)nya di atas jari tengah dan berisyarat dengan telunjuk (tangan kanan)nya, serta meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya, sedang telapak tangan kirinya menggenggam (lutut)nya.”[1]
  1. Hadits Wâ`il bin Hujr:
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَنَصَبَ أُصْبَعَهُ لِلدَّعَاءِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
“Dan apabila duduk dalam dua rakaat, beliau membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, serta menegakkan jari (tangan kanan)nya untuk doa dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya ….”[2]

Kedua: shalat yang lebih dari dua rakaat, seperti shalat Maghrib, Isya, Zhuhur, dan Ashar. Shalat seperti ini mempunyai dua tasyahud: tasyahud awal dan tasyahud akhir. Oleh karena itu, seorang makmum duduk secara iftirasy pada tasyahud awal, sedang, pada tasyahud akhir, duduk secara tawarruk, yaitu menegakkan kaki kanan dan memasukkan kaki kiri di bawah paha dan betis kanan, sedang pantat sebelah kiri bersentuhan langsung dengan tempat duduk.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid As-Sâ’idy bahwa beliau menceritakan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan sepuluh orang shahabat, dan mereka membenarkan hal itu. Abu Humaid berkata,
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُ خْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Dan apabila duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan (kaki) kanan. Sedang, apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, serta beliau duduk di atas tempat duduknya.”[3]
Rincian di atas merupakan pendapat Imam Ahmad[4], juga merupakan pendapat Ats-Tsaury, Ishaq, dan Ashhab Ar-Ra’yi.
Oleh karena itu, kalau seorang makmum masbuk pada shalat dua rakaat, duduknya tiada lain kecuali duduk iftirasy, demikian pula bila masbuk pada shalat yang tiga atau empat rakaat. Hal tersebut karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencontohkan duduk tawwaruk hanya pada raka’at terakhir saja. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat.”[5]
Saya pernah mendengar Syaikhunâ Al-‘Allâmah Al-Muhaddits dari negeri Yaman, Syaikh Muqbil bin Hâdy Al-Wâdi’iy rahimahullâh, berkata, “Ada sebagian orang berpendapat bahwa, kalau seseorang masbuk dua rakaat, kemudian mendapati imam duduk tasyahud terakhir, ia duduk tawarruk seperti cara duduk imam dengan dalil hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhâry-Muslim,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِْ مَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti.”
Lalu, beliau berkata, “Tetapi, yang nampak bagi saya adalah bahwa si masbuk ini tetap duduk iftirasy.”
Juga guru kami, Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry hafizhahullâh, dalam salah satu jawaban beliau yang pernah kami dengarkan, menfatwakan bahwa makmum hanya duduk iftirasy, walaupun imam berada pada rakaat terakhir. Adapun hadits “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti,” ini berlaku untuk mengikuti imam dalam hal yang zhahir. Hal zhahir yang dimaksud di sini adalah bahwa, bila Sang Imam duduk, makmum juga harus duduk bersama imam. Adapun cara duduk imam (iftirasy atau tawarruk) tidaklah tercakup ke dalam lingkup hadits.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.



[1] Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân -sebagaimana dalam Al-Ihsân 5/370 no. 1943- dengan sanad yang hasan.
[2] Dikeluarkan oleh An-Nasâ`iy 2/586-587 no. 1158 dengan sanad yang shahih.
[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 794.
[4] Sebagaimana dalam Masâ`il Ibnu Hâny hal. 79, Al-Mughny 21/218, dan Majmû’ 3/430.
[5] Hadits Mâlik bin Al-Huwairiz riwayat Al-Bukhâry no. 605.

Sabtu, 28 Juli 2012

Mengikuti Manhaj Salaf Wajib?



Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif
PERTANYAAN
Sebagian orang menyangka bahwa mengikuti manhaj Salaf bukanlah suatu kewajiban, bahkan ada yang berkata itu adalah taqlid ‘membebek buta’. Tolong uraikan pendapat yang benar dalam masalah ini dengan dalil-dalilnya!
JAWABAN
Mengikuti jalan para ulama salaf adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah dalam segala perkara agama. Dalil akan wajibnya berasal dari Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama dari zaman ke zaman.
Dalil dari Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [ At-Taubah: 100 ]
Ayat ini sangat tegas menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para Salaf, dan bahwa orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik akan mendapat keridhaan dan pahala surga. Maka, ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengikuti mereka akan mendapat siksaan dan tidak akan mendapat keridhaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala jugamenjadikan keimanan para shahabat sebagai simbol kebenaran dan petunjuk. Dalam firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [ Al-Baqarah: 137 ]
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsir beliau yang terkenal, “‘Maka jika mereka beriman’, yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka, ‘seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya’, wahai kaum mukminin, dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorang pun dari mereka, ‘sungguh mereka telah mendapat petunjuk’, yakni mereka telah berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.”
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [ An-Nisa`: 115 ]
Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauzy, “Sisi pendalilan dari ayat ini, bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan kaum Mukminin sebagai sebab seseorang larut di jalan kesesatan dan masuk ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat ini) juga menunjukkan bahwa mengikuti jalan Ar-Rasulshallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam merupakan bagian dari pokok Islam yang agung yang berkonsekuensi keharusan dan kewajiban menempuh jalan kaum mukminin. Adapun jalan kaum mukminin adalah perkataan dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini ditunjukkan oleh firman-Nya Ta’ala,
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [ Al-Baqarah: 285 ]
Dan kaum mukminin pada waktu itu adalah para shahabat.” Demikian perkataan Ibnul Qayyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal. 54.
Dalil dari As-Sunnah
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhary (2652), Muslim (2533/211), dan lain-lainnya. Hadits ini mutawatir)
Hadits ini sangat tegas menunjukkan keutamaan tiga generasi pertama dari umat ini, yaitu generasi As-Salaf Ash-Shalih, bahwa As-Salaf Ash-Shalih adalah sebaik-baik generasi yang pernah lahir dari umat ini. Al-Khairiyah ‘kebaikan’ yang terdapat pada mereka ada pada semua sisi kebaikan dalam agama. Maka merekalah yang terbaik jalannya, paling dalam ilmunya, paling lurus pemahamannya, paling sedikit salahnya dan yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga menunjukkan kewajiban mengikuti jalan para ulama Salaf rahimahumullah.
Juga dalam hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ
“Bintang-bintang adalah pelindung bagi langit. Bila bintang telah lenyap, akan datang kepada langit apa yang dijanjikan atasnya. Saya adalah pelindung bagi shahabatku. Jika saya telah pergi, akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan atasnya. Para shahabatku adalah pelindung bagi umatku. Bila para shahabatku telah pergi, akan datang kepada umatku apa yang dijanjikan atasnya.” (dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 2531)
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan para shahabat terhadap umat setelahnya ibarat bintang terhadap langit. Hal ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar bagi para shahabat, sehingga wajib atas umat setelahnya untuk mengikuti mereka dalam memahami agama ini. Karena mereka adalah orang-orang yang adil dan tidak berbicara kecuali hal tersebut benar dan mereka adalah murid langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menimba ilmu darinya.
Para shahabat diibaratkan sebagai bintang-bintang, dan sebagaimana yang diketahui bahwa bintang mempunyai 3 fungsi:
  • Sebagai petunjuk jalan di malam hari.
  • Sebagai pelempar syaithan.
  • Sebagai penghias langit.
Demikianlah kedudukan dan keutamaan para shahabat.
Juga dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ الله كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menasihati kami dengan suatu nasihat yang sangat mendalam, sehingga membuat air mata kami mengalir dan hati-hati kami bergetar. Maka berkatalah seseorang, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Saya mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, dan agar kalian mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun (yang memimpin kalian adalah) seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethiopia -pen.). Karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.’.” (hadits shahih dari seluruh jalan-jalannya, dishahihkan oleh Syaikh Al- Albany dalam Zhilalul Jannah )
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi perselisihan mengembalikan perselisihan tersebut kepada sunnahnya dan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin yang senantiasa berada di atas sunnah dan petunjuk. Maka digandengkannya sunnah beliau dengan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin menunjukkan kebenaran dan kelurusan jalan para Khulafa` Ar-Rasyidin dalam memahami sunnah beliau yang mengharuskan kita mengikuti jalan mereka.
Juga dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ الله فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخَلَّفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَالاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالاَ يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ
“Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah kepada umat-umat sebelum saya kecuali dia mempunyai penolong dan shahabat yang mengamalkan sunnahnya dan mematuhi perintahnya. Kemudian setelah itu akan ada sekelompok orang yang menyeleweng, mereka mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka dia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka dia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka dia adalah seorang mukmin. Dan tidak ada lagi keimanan setelah itu.” (dikeluarkan oleh Muslim no. 50)
Dari sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyifatkan shahabatnya bahwa shahabatnya adalah orang-orang yang senantiasa mengikuti perintahnya dan mengambil sunnahnya. Barangsiapa yang keadaannya demikian, maka inilah yang wajib untuk diikuti, karena jalannya adalah jalan untuk mengantarkan ke jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Kemudian dalam hadits perpecahan umat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah golongan dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah. Semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah .” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain -rahimahumallahu-)
Lalu dalam satu riwayat yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, ketika ditanya siapa golongan yang selamat ini, Nabi menjawab,
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“Apa yang saya berada di atasnya pada hari ini dan para shahabatku.”
Dalil dari Ijma’
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’ ….” Baca Dzammut Ta`wil hal. 28-36 beserta pembahasan kewajiban mengikuti Salaf.
Berkata Ibnul Qayyim, “Sesungguhnya senantiasa para ulama di setiap zaman sepakat dalam berhujjah, mereka mengambil perkataan dan perbuatan para shahabat dan tak satupun mengingkari hal ini. Karangan-karangan dan muhadharah-muhadharah ‘majelis ilmu’ mereka menjadi bukti dari hal itu. Dan berkata sebagian ulama Al-Malikiyah, ‘ Para ulama di setiap zaman sepakat mengambil apa-apa yang datang dari shahabat di dalam berhujjah, hal ini terkenal dalam riwayat-riwayat para ulama, kitab-kitab dan muhadharah serta pengambilan dalil-dalil mereka yang selalu berpatokan dari perkataan dan perbuatan para shahabat.’.” Baca Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal. 77-78.
Berkata Imam Ahmad rahimahullah, “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh di atas apa yang para shahabat berada di atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/176. Perkataan ini juga diucapkan oleh ‘Ali Ibnul Madiny sebagaimana dalam Dzammut Ta`wil .
Untuk pembahasan yang lebih meluas tentang dalil kewajiban mengikuti jalan para ulama salaf, silakan baca I’lam Al-Muwaqqi’in jilid 4, Bashair Dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf , Limadza ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy , dan lain-lainnya.
Syubhat dan Jawabannya
Sebagian orang mengatakan bahwa mengikuti jalan para ulama salaf adalah taqlid, dan taqlid itu terlarang dalam agama.
Maka untuk menjawab syubhat ini kami nukilkan keterangan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam kaset yang berjudul Al-Qawa’id Fi Al-Minhaj , “Taqlid bukanlah tercela secara mutlak. Taqlid dalam kebenaran dan mengikuti pengikut kebenaran ini adalah perkara yang diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman tentang nabi-Nya, Yusuf ‘alahis salam,
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qûb.” [ Yusuf: 38 ]
Yusuf ‘alahis salam mengabarkan bahwa ia mengikuti orang yang sebelumnya tatkala mereka berada di atas kebenaran. Allah ‘Azza wa Jalla hanyalah mencela mengikuti ayah-ayah dan nenek moyang karena mereka berada di atas selain ilmu
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan tetap mengikuti), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [ Al-Baqarah: 170 ]
Mereka dicela karena mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapatkan petunjuk. Maka pemahaman ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mendahului kita, kalau mereka mengetahui dan memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah, mereka diikuti dalam hal itu.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ (Apakah mereka akan tetap mengikuti nenek moyang mereka) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [ Al-Maidah: 104 ]
Maka ini menunjukkan bahwa orang yang mengetahui itu diikuti. Yang tercela hanyalah siapa yang mengikuti orang yang tidak mengetahui. Maka taqlid bukanlah tercela secara mutlak dan bukan pula boleh secara mutlak, tetapi ada rinciannya, yaitu siapa yang berada di atas kebenaran maka ia diikuti dan di-taqlid dengan dalil yang datang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dari perintah mengikuti para ulama Salaf dan mencontoh mereka, (dan) siapa yang meyelisihi kebenaran maka tidak boleh diikuti dan di-taqlid. (Penjelasan) ini merupakan pemutus perselisihan dalam masalah ini.
Maka kami berkata, “Tidak mungkin kita memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah kecuali dengan mengikuti manhaj Salaf. Tidaklah mungkin seseorang datang di akhir dunia, di akhir zaman, lalu membuang manhaj Salaf dan menyangka ia telah mengambil (menerima ilmu) Al-Kitab dan As-Sunnah secara langsung. Ini adalah kesesatan dan perbuatan memecah belah umat serta memutuskan hubungan (generasi) belakangan dari (generasi) Salafnya ….”
Sumber http://tutorialines.blogspot.com/2011/05/cara-pasang-tombol-back-to-top-pada.html#ixzz1mTO5TKOE Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial